Kampus Tercinta

Kampus Tercinta
Golden Gate

Rabu, Oktober 12, 2011

If This Is a Dream, just Don't Let Me Awake



Saat kamu bangun dan hidupmu bukanlah hidupmu, apa yang akan kau lakukan? Bagaimana pula jika hidup yang menurutmu palsu itu terlalu indah seperti mimpi hingga kau tak ingin terjaga olehnya?

Aku berusaha untuk menyadaran diriku. Entah mengapa, kepala ini terasa seakan ter lalu berat. Bahkan mata pun sukar untuk terbuka. Ada apa sebenarnya? Perlahan mulai kucoba lagi hingga rintihan suara terdengar dari mulutku. “Arrhhh…..arrh….”. Oh tidak, mengapa suaraku sepertinya berubah? Apa yang terjadi semalam? Mengapa dalam sehari saja aku bisa menderita sakit kepala akut hingga suara yang berubah. Sepertinya berubah lebih dewasa, hanya pikiranku. Tiba-tiba aku mendengar suara sesosok laki-laki yang sepertinya sedang berada di dekatku dan memegang tanganku. Siapa dia? Sepertinya tak pernah kubiarkan seorang lelaki memasuki kamar kosku. Dimana Ulan? Mbak Mae? Mbak Sulis? Ami? Dimana semua anak kos? Kenapa aku tak mendengar suara mereka satupun? Oh Tuhan….. sakit kepala ini terlalu untukku. Sejenak kuusahakan lagi agar mata ini terbuka. Dan benar terbuka. Apa yang kulihat saat ini memang persis sama dengan apa yang kubayangkan tadi. Wanginya, udaranya, dan suasananya. Tepat sekali, aku memang sedang berada di Rumah Sakit. Tapi siapa yang sedari tadi memegangi tanganku sembari membaca sholawat berulang kali itu? Aku tak bisa menemukan bayangannya karena sakit kepala yang menyiksa ini. Sampai saat beberapa dokter dan perawat datang, aku melihat sesosok pria berkemeja biru muda yang sedang cemas menunggu di belakang kerumunan orang-orang berbaju putih. Mungkinkah ia orang itu? Tapi tunggu dulu, bukankah lelaki itu orang yang aku kenal? Tidak mungkin, lelaki itu, mungkinkah Kak Mukti? Benarkah? Tak mungkin, lalu mengapa ia terlihat berbeda dan sepertinya sangat mengkhawatirkan aku? Menganggapku teman saja tidak.  Semua ini sangat tidak masuk akal, tapi semakin aku berpikir semakin parah pula sakit kepala yang aku derita. Akhirnya aku hanya bisa diam hingga dokter dan para perawat hilang. Sakitnya lumayan hilang, tapi keadaan ini sungguh sangat aneh. Apa aku sedang bermimpi? Tapi saat mereka menyuntikkan obat ke tanganku, apa orang yang tidur pun bisa tak terbangun? Otakku sangat penuh dengan pertanyaan hingga lelaki yang kucurigai sebagai Kak Mukti itu datang lagi menghampiriku.

Lelaki itu duduk di sebelahku dengan tenang kembali. Kembali pula menggenggam tanganku dan mengusap keningku. Ingin sekali kutanyakan eribu hal kepadanya, saat akan mengatakannya, seperti ada yang menekan tenggorokanku. Aku hanya bisa mengerang tanpa mengeluarkan kata yang lengkap.
“Sayang…. Gak usah ngomong dulu ya? Kata dokter saraf pembicara kamu sedikit bermasalah, untuk sementara susah bicara. Tapi nanti bisa pulih kok.
Apaa????? Sayaang?? Dahiku menyerinyit hingga menyatu. Kenapa dialognya semakin aneh. Sayang siapa? Aku ini Aliana Nurul Bidayah, Mahasiswa ITB 2011. Apa dia tak salah kamar. Teka-teki tentang siapa pria itu terjawab saat salah seorang perawat datang dan memanggil namanya.
“Pak Mukti, tolong menemui dokter nanti jam 4”
Namanya bisa kudengar dengan sangat jelas. Mukti. Orang itu benar Kak Mukti. Aku benar-benar sedang bermimpi. Tapi tetap saja aku tak bisa mengatakan sesuatu hanya sekedar untuk ‘bertanya’ ada apa dengan hidupku ini?
Keesokan harinya aku pulang dari Rumah Sakit. Sepertinya aku memang tak menderita sakit apapun kecuali sakit kepala. Yang menjemput, lagi-lagi Kak Mukti yang setap waktu disisiku. Tapi sekarang ada mama. Ma, aku ingin sekali bertanya ‘ada apa ini’? Tapi mama hanya menuntunku hingga memasuki Jaguar hitam. Hidupku semakin aneh. Saat mobil berhenti, mama menuntunku masuk ke sebuah rumah tingkat dua bergaya minimalis dan luxury. Ma, ini bukan rumah kita. Ini bukan di Karawang. Tapi mama tetap menuntunku hingga memasuki sebuah kamar. Aku tak terlalu memperhatikan rumah itu hingga mama keluar dari kamar. Meninggalkanku sendiri dengan semua ini, aku ingin menahannya tapi mulut dan tubuh ini terlalu lemas. Tak begitu lama aku akhirnya tertidur.
Setelah terbangun aku berharap segera kembali pada kehidupanku dulu yang tenang sebagai mahasiswa. Tapi tidak, aku masih terjebak dalam rumah bagus ini. Ya Allah, jam berapa ini? Aku belum sholat dari sebelum aku tidur. Perlahan, kuambil air wudhlu dan mengkodlo sholat yang terlewat. Mungkin pengaruh obat yang kuminum saat masih di Rumah Sakit sesaat sebelum keluar.  Aku mulai memperhatikan sekelilingku, dan suatu hal seakan menamparku. Fakta bahwa Aku Sudah Menikah.

Ada apa dengan semua tempelan di dindng. Foto-foto di figura itu siapa? Dan sesaat aku mulai berpikir untuk berkaca. Akhirnya bergerak juga kakiku mendekati kaca di meja rias kamar. Astaga!! Mukaku berubah, tubuhku berubah, tak mungkin . It must be just a dream. DI kaca itu aku hanya melihat wanita berumur sekitar 28-an tahun yang cantik dan bertubuh langsing. Oh tidak, tapi aku masih mengenali wajahnya. Wajah ini memang wajahku, tapi ada apa dengan tubuh dan umurku. Apa aku tidur selama 10 tahun? Ada apa dengan semua keanehan ini. Fakta lagi yang membuatku semakin sesak adalah bahwa aku sudah menikah. Semua foto pra wedding dan wedding yang terpajang di dinding adalah foto wanta yang sama dengan yang kulihat di kaca. Semua fotoku. Masalahnya disini foto-foto itu adalah foto pernikahan yang sangat bahagia  Bagusnya adalah sang suami dalam fotoku itu adalah Kak Mukti, seniorku di Radio Kampus ITB. Emang itu kakak yang paling aku fans sih, tapi untuk menikah?? Apa mungkin? Dan apa ini benar bukan mimpi kah? Aku tetap masih belum pecaya. Sesaat aku melamun, seorang laki-laki masuk dan membuyarkannya. Dia adalah lelaki yang dulu menyebutku ‘sayang’. Tepat sekali, itu Kak Mukti. Apa yang harus aku katakan? Ups, aku memang tak bisa bicara. Tak ada yang bisa aku tanyakan kemudian. Untuk beberapa hari aku hanya bisa diam sambil memahami keadaan aneh ini. Aku masih tak bisa mengerti dan percaya dengan semua ini walau sudah benar-benar kucoba. Aku benarbenar sangat ingat bahwa beberapa hari lalu, aku masih tidur di kasur terbaikku di kamar kos, bersama dengan bantal beludru biru dan selimutku yang hangat. Tapi hari ini, aku tidur di kamar yang sangat besar dan mewah lengkap denga n permadani di bawah tempat tidur, dan satu lagi hal yang sangat-sangat tak lazim. Saat ini aku malah tidur dengan seseorang yang mengaku sebagai suamiku. Aku melihat dengan mata kepalalaku sendiri buku nikah kami. Hal itu membuktikan bahwa kata-katanya memang bukan sekedar kebohongan. Entahlah, aku lagi-lagi masih tak bisa mengerti keadaan ini.

Tubuh dan kepalaku sudah tak merasakan sakit. Kurasakan keadaanku yang mulai membaik. Baru saja perasaanku membaik, tiba-tiba saja datang e-mail di layar laptop yang katanya adalah laptopku (aku tak percaya karena laptop itu adalah mac book terbaru). Kak Mukti dengan lembut menyuruhku untuk membuka e-mail tersebut. “Buka ajja e-mailnya yang…. Kamu udah hamper seminggu kan nggak buka e-mail, siapa tau dari kantor”. What?? Kantor? Maksudnya itu kantor siapa? Kantor Kak Muktinya atau? Jangan bilang kalo aku juga sudah bekerja. Tidak…. Kejutan apa lagi ini?
Saat kubuka e-mail itu, tertera kop surat yang bertuliskan nama “CHEVRON” wah… perusahaan asing itu sangat terkenal. Siapa yang bekerja disana? Kak Mukti? Tapi kenapa ngirim e-mailnya ke alamatku? Begitu kagetnya aku saat kubaca kalimat di awal surat
“Kepada yth. GM Produksi Ibu Dr. Eng. Aliana Nurul Bidayah, Ph.D.”
Tidak mungkin. Aku Cuma mahasiswa D3 Metrologi Instrumentasi ITB, tak mungkin bila punya gelar segitu banyak. Dan aku bukan Eng. E-mail mengatakan bahwa aku harus segera masuk kantor lagi sebagai General Manager maksmal aku membolos dua minggu lagi karena memang selama ini mereka menganggap bahwa aku telah mengalami kecelakaan. Mereka bukan salah anggapan, tapi salah kirim e-mail. Aku bukanah orang ini, aku cuma mahasiswa. Aku mahasiswa. Aku seorang doctor. Sangat sulit dipercaya.
Hari ini memang hari sabtu. Saat semua karyawan perusahaan biasanya libur. Begitu juga dengan Kak Mukti. Hari ini ia berencana untuk menemaniku saja di rumah seharan. Waduh, merepotkan dan canggung juga. Mulai dari tadi pagi, bukan aku yang memasak tapi Kak Mukti.  Kak Mukti benar-benar memperlakukanku sebagai seorang wanita yang paling beruntung di dunia. Bosan dengan keadaan yang membuatku melayang-layang kulangkahkan kakiku ke lemari buku dan album foto yang ada di sudut ruang keluarga. Mulai kubuka dan aku menemukan banyak album photo di lemari itu selain buku-buku tentang elektronika. Pasti semua itu buku Kak Mukti, tebakku. Tetapi di bawah tumpukkan album foto, terselip sebuah flashdisk yang sudah sedikit using. Aku ragu apakah flashdisk itu masih bisa digunakan ataukah tidak. Segera kubawa tumpukan abun foto itu dan kubawa pula flashdisk using iu ke dalam kamar. Saat akan kunyalakan mac book di atas meja, Kak Mukti masuk dengan baju yang basah. Sepertinya ia menyiram dan membenarkan taman samping bersama bi Inah. Kak Mukti dengan tidak canggungnya berganti pakaian di dalam kamar. Oops, aku masih belum terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Yang kulakukan adalah terus menunduk. Sampai Kak Mukti tertawa kegirangan melihat tindakanku. Aku masih tetap menunduk sampai ia menghampiriku. Kutancapkan flashdisk itu dan mulai kulihat apa isinya. Tiba-tiba Kak Mukti tertawa sambil berkata, “Wah…. Kamu lagi mengenang masa kuliah? Dulu kamu gak pernah ngebolehin aku buka flashdisk itu loo… sampe aku lupa kalo masih ada sekarang. Trus foto-foto dari kamera slr ini juga gak boleh aku buka. Sekarang mau kamu buka-buka lagi? Aku boleh liat kan yang?”
Jawabanku, “ooo yya, aku lagi mau lihat-lihat lagi. Boleh kok, Kak Mukti boleh liat.” Sedangkan dalam hatiku berkata, “hihi aku punya kamera slr?? Keren donk…”
Ternyata flashdisknya masih bisa dibuka. Saat kubuka, isinya hanyalah sebuah folder yang bernama DIARI 2011-2020. Ya ampun aku telat menyadari bahwa hari ini bukanlah tahun 2011 lagi. Tapi 2022. Umurku berarti sudah 28 tahun. Tua banget. Mulai kubuka folder  itu dan kutemui banyak file pengolah kata. Kubuka halaman pertama
“19/11/2011
Hari ini aku menjadi Kru Radio Kampus. Asyikkk, semakin dekat ama Kak Mukti….”

Lantas saja tawa Kak Mukti meledak melihat tulisanku.

Sabtu, September 17, 2011

1 2 3 4 Kau hadir

Pertama kali engkau hadir
Bagai hembusan angin di malam hari
Begitu dingin

Kedua kali engkau hadir
Masih tetap seperti angin di malam hari
Namun malam semakin panas
Hingga angin seperti pemuas

Ketiga kali engkau hadir
Kini sebagai embun di pagi hari
Saat terjaga dan haus sekali
Dan embun pun seperti peri

Terakhir kali engkau datang
Lebih-lebih karena kau adalah hujan
Hujan saat disekitarku hanyalah gurun
Hingga hujan seperti berkah
Hingga hujan seperti oasis

Tapi itu terakhir kali kau hadir
Memang indah tapi apalah jika untuk yang terakhir

Hingga gurun semakin parah
Dan panas semakin bekah

Jadilah aku sangat kehausan
Sangat kerinduan

Jumat, September 16, 2011

I think I'm Ugly

i’m trying to smile brightly but
i don’t like it
i’m not pretty, i’m not beautiful

i’m trying to sing but
no one is listening
i’m not pretty, i’m not beautiful

why am i this ugly
what must i do for me to be able to smile brightly like you?
i’m getting angry again, why can’t i ever be perfect
i simply put the blame on my ugly appearance in this broken mirror
don’t look at me, i hate this feeling right now
i want to hide away somewhere, i want to escape
this world is full of lies
i think i’m ugly
and nobody wants to love me
just like her i wanna be pretty i wanna be pretty
don’t lie to my face tellin’ me i’m pretty
i think i’m ugly
and nobody wants to love me
just like her i wanna be pretty i wanna be pretty
don’t lie to my face cuz i know i’m ugly
don’t tell me that you can understand me so easily
my ugly and crooked heart may even come to resent you
don’t force me to talk, i’m not right for you
the cold thorns inside that patronizing gaze suffocate me
don’t come closer, i don’t even want your concern
i want to leave away to somewhere, i want to shout out
this world is full of lies
i think i’m ugly
and nobody wants to love me
just like her i wanna be pretty i wanna be pretty
don’t lie to my face tellin’ me i’m pretty
i think i’m ugly
and nobody wants to love me
just like her i wanna be pretty i wanna be pretty
don’t lie to my face cuz i know i’m ugly
all alone
i’m all alone
there is no such thing as warmth
there is no one by my side
all alone
i’m all alone
i’m always alone
there’s no such thing as warmth
next to my side, there’s not even anyone to embrace me
i think i’m ugly
and nobody wants to love me
just like her i wanna be pretty i wanna be prety
don’t lie to my face tellin’ me i’m pretty
i think i’m ugly
and nobody wants to love me
just like her i wanna be pretty i wanna be pretty
don’t lie to my face cuz i know i’m ugly

Rabu, September 14, 2011

Infinitely Mine

When love has came. What can you do for avoiding?


Dalam Sisi Fajar Permata
Hidup ini terasa seperti sudah basi saja. Jika orang lain dapat merasakan kehidupanku selama 22 tahun ini, mungkin di akan cepat-cepat bunuh diri. Bukan karena kesulitan yang sangat berat ataupun cobaan hidup yang datang silih berganti. Tapi, Bosan. Hidupku sangat membosankan. Setiap hari selalu itu yang kuperbuat. Tak ada tantangan, tak ada yang mengisi. Sepi sekali. Saat-saat awal menjai seorang mahasiswa dulu, begitu seru sepertinya menjadi seorang assisten atau lebih terkenal dengan nama asdos. Tetapi, saat mendpatkannya, semua itu terasa hampa sekali. Menghadapi mahasiswa-mahasiswa baru setiap hari di tahun keempatku sebagai mahasiswa di ITB ini merupakan sesuatu yang sangat biasa saja. Seperti kebiasaan mandi setiap hari. Sebenarnya aku tak pernah mau menjadi pasif dan stagnan sampai disini. Dahulu kala, saat masa-masa SMA, aku adalah salah satu siswa yang paling aktif dalam hal berorganisasi. Panitia pensi, try out, pameran, dll.Tapi entahlah, saat memasuki kampus ganesha ini, semuanya berubah dan perubahan itupun merubah kepribadianku juga. Ingin sekali saat lulus nanti aku terjun di dunia Industri. Bekerja pada perusahaan gas dan minyak Internasional, juga menjadi jutawan di usia muda. Tapi kini, untuk bermimpi pun aku tak pernah berani. Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Biarkanlah hidupku mengalir dan berakhir seperti biasa.
"Pagi Kak Fajar...." sapa salah seorang mahasiswi FITB. Memang populeritasku di fakultas ini lumayan baik. Tetapi khususnya aku mengajar di jurusan Geodesi dan Geomatika.

Hari ini pertama kali aku mengajar lagi setelah liburan panjang yang disibukkan oleh penerimaan mahasiswa baru. Beruntung aku tak melamar seagai asdos untuk mahasiswa TPB. Masih kekanak-kanakan mereka itu menurutku. Akhirnya aku kebagian mengajar tingkat dua prodi geodesi geomatika.

Perdana masuk kelas, tak ada yang berbeda kecuali satu. Ada seorang wanita disini. Seorang gadis bejilbab dan berkacamata. Sejuk sekali pandangan dan senyumnya. Memang sebuah keajaiban jika dapat menemukan seorang wanita saja dalam prodi ini, apalagi wanita anggun seperti itu. Dalam sejarah Geodesi Geomatika, jarang sekali ada wanita yang mau masuk ke sini. Bahkan empat tahun terakhir tidak pernah dtemukan lulusan wanita dari prodi ini. Tapi apa benar ia memilih masuk prodi ini? Apa dia tidak salah kelas.? Entahlah. Saat akan kuabsen mereka, lantas kucari segera nama wanita dalam absen tersebut. Hasilnya nihil. Tak ada nama wanita disitu, ia benar-benar salah kelas. Tapia da satu hal lagi yang menarik perhatianku. Ada seorang anak yang memiliki nama yang sangat persis denganku dari mulai nama depan hingga nama belakang. “FAJAR PERMATA”. Aku makin penasaran lagi dengan kelas ini. Setelah ku absen beberapa mahasiswa, sampailah pada nama yang sama sepertiku.

“Fajar Permata” nadaku lumayan lantang menyebutkan itu nama.
“Hadir” jawab salah seorang mahasiswa. Begitu kagetnya aku saat mengetahui bahwa yang menjawab itu adalah seorang wanita. Mahasiswi itu tak salah kelas. Ada apa dengan ini, benar-benar tak biasa. Mahasiswa Geodesi bernama Fajar (sama sepertiku) ternyata adalah seorang gadis berjilbab seperti itu? Surprise yang menarik juga di awal tahun ajaran baru seperti ini.
Setelah selesai kuliah, aku segera melarikan diri ke Salman untuk menyerahkan diriku ke Tuhan. Aku bisa mengadu sepuasnya dengan Allah dan mengeluh apapun yang membuatku tak senang. Memang seperti pekerjaan seorang pengecut sekali, tapi itulah aku kini. Baru aku berniat mengambil sepatuku, terlihat sekilas bayangan seorang wanita yang sangat aku kenal. Aku baru menyadari bahwa itu adalah Fajar. Lucu sekali mengingat namanya, seperti memanggil diriku sendiri. Dia duduk diam memandangi sebuah buku agenda berwarna merah muda. Cantik sekali. Pikiranku yang mulai melantur itu kemudian segera terbuyarkan.

Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan kelas geodesi. Kebetulan aku menjadi asisten salah satu mata kuliah yang lebih banyak mengadakan praktek daripada teori. Seperti hari ini, aku ingat sekali. Hari ini adalah kelas wanita misterius itu. Aku sangat penasaran mengenai kehliannya dalam praktek yang biasanya menjadi kelemahan seorang wanita. Anggapanku bahwa pastinya ia akan sulit sekali menyesuaikan diri, juga dengan kepribadian yang begitu anggun itu apakah dia mampu membawa alat-alat geodesi yang begitu menantang? Saat tiba di lab, Fajar itu duduk di paling depan seperti biasa. Ia tak pernah canggung dengan teman-temannya dan begitu pula dengan mereka. Terlihat bahwa mereka sangat menjaga mutiara satu-satunya dalam angkatan mereka. Tak sabar.
Aku menjadi sangat-sangat malu saat menyadari bahwa semua prasangka burukku ternyata tak satupun benar. Wanita ini memang sangat-sangat sesuatu. I think she's special.

Fajar Permata
Hari ini hari pertama aku menginjakan kaki di kampus bukan lagi sebagai mahasiswa TPB, melainkan GD'10. Bukan lagi memakai fakultas FITB melainkan Geodesi dan Geomatika. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya mengapa aku memilih prod yang justru lebih banyak kaum adamnya daripada kaum hawa sepertiku. Bukan berniat menjadi cewe tomboy atau wanita yang sok cantik di tengah banyak lelaki, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Hal pertama yang aku pikirkan saat melihat opsi memilih prodi adalah 'Geodesi'. Sesuatu yang berhubungan dengan geospasial, kadaster, survei rekayasa pantai, dll. Semua itu selalu membuatku merinding dan tertawa bahagia. Sebagai salah satu gender minoritas disana, mungkin pernah terbesit rasa takut dalam hati. Tapi tidak, my dream is my destiny. Hal-hal berjalan dengan baik sekali sampai suatu saat.


Hari ini pertama masuk tutorial. Tak sabar melihat asisten yang sering sekali dibicarakan oleh kakak angkatan di IMG, padahal mereka mayoritas adalah pejantan. Asistennya pun pejantan. Tabu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan datanglah sesosok pria, asisten. Pertama kali mata dan hatiku sama-sama mengucap, "Subhanallah"
Pantas sekali jika laki-laki itu sangat populer di GD. Matanya yang biru bersinar, alis hitam tebal, hidung yang terbentuk indah, dan bibir yang tipis seperti huruf alif itu benar-benar mengganggu konsentrasiku. Tuhan, aku tau di kelas ini hanya ada satu wanita. Mungkin memang, hanya aku yang akan terganggu konsentrasinya karena melihat lelaki yang sangat tampan.

Jumat, September 09, 2011

Shit!!! Asdos Sinting, tapi.......


Finally........setelah berjam-jam waktu terlewati, berpuluh-puluh kertas kuhabiskan, dan berkali-kali aku makan, selesailah tugas kalkulus yang menyesakkan ini. Tuhan... cuaca diluar sana sangat bagus, ingin sekali aku merentangkan tangan di halaman dan merasakan udara hangat dengan angin sepoi yang menggelitik. Mendengar burung-burung berbicara, dan memejamkan mata untuk sekedar tersenyum. Tapi itu semua sudah berakhir saat berakhir pula tugasku ini, karena saat kulayangkan pandanganku ke arah jam dinding, jarumnya sudah meneriakkan jam 9 malam.
Beribu ucap syukur sudah terlalu bosan kuucapkan saat rampunglah tugas kalkulusku. Entah apa yang dipikirkan Asdos (Asisten Dosen) itu saat memberi tugas jahannam ini kepadaku. Kalau saja dua hari lalu aku bisa bertemu orang itu, entah apa yang akan aku lakukan padanya. Sebenarnya seperti apa laki-laki dewasa itu? Mengapa seolah-olah dia 'menyihir' temanku hingga senang membicarakan namanya saat di kelas kalkulus? Mungkin salahku juga yang tidak masuk pada hari pertama dimulai kelas kalkulus dua hari yang lalu. Tapi lima hari lagi aku akan melihatnya. Tidak sabar.

"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh" salamnya yang lantang itu membuyarkan mataku yang sudah akan terpejam. Akhirnya datang juga. Kusiapkan bangku dan bukuku yang biasanya tidak pernah kulakukan. hari ini pula aku memilih untuk duduk di bangku paling depan pas dengan meja dosen, hingga dapat melihatnya dengan sangat puas. Penasaran. Saat kutegakkan kepalaku, kata pertama yang kuucap jauh di lubuk hatiku adalah,"Subhaanallah". Pada saat itu pula sudah dapat terjawab beribu-ribu pertanyaan dalam hatiku tentang mengapa 'orang ini' selalu menjadi buah bibir di kelas. Hanya satu kata untuknya. Tampan.
Dua jam berlalu dengan cepat, salah satu temanku menyapa asdos itu dengan panggilan Kak Naren. Jadi itulah namanya, Naren. Pikiran yang lambat. Entah mengapa semakin hari aku semakin penasaran dengan orang itu, apa yang telah membuatnya menjadi orang yang begitu kaku dan sangat-sangat tidak menikmati hidup yang indah ini. Tuhan...... masih ada hambamu yang seperti Kak Naren di abad ke 21 ini, tolong selamatkan dia..... hihihi aku memikirkan keanehan Kak Naren sambil berjalan dan membuatku tertawa sendiri seperti sedang gila. Hah, apa-apaan ini!! Belum apa-apa dia sudah buat aku jadi gila.

Setelah beberapa langkah aku baru menyadari bahwa aku melewatkan ruang perpustakaan prodi tadi. Segera aku berbalik untuk sekedar mencari diktat sumber untuk bahan mata kuliah Fisdas besok. Saat tiba di perpustakaan, ruangan bergaya Eropa itu tampak sepi sekali seperti tak berpenghuni, tapi.... setelah melewati meja penjaga ternyata kutemukan seorang lelaki sedang terpekur sendiri menyelami buku setebal 20 cm (lebay) di depannya. Aku tak mungkin repot-repot memperhatikannya kecuali ternyata memang dia adalah orang yang kukenal. Sangat kenal. Apa yang dilakukan Kak Naren di perpustakaan saat ini? Maksudku, apa dia tidak terlalu bosan untuk terus membaca dan tenggelam dalam beribu-ribu huruf setiap hari atau bahkan setiap saat? Entahlah. Tetapi saat kudengarkan lebih teliti..... Oh God, bukan. Dia bukan sedang membaca, tapi sedang menangis.Mataku membelalak tak percaya dan saat itu juga ia mendongakkan kepalanya dan bertatapan langsung denganku. Bertatapan langsung. Tatapan matanya sangat berbeda dari biasanya. Bukan seperti tatapan Adolf Hitler yang biasanya mendongengiku di kelas, tapi seperti tatapan anjing yang tersesat di jalan saat hujan lebat. Tiba-tiba saja aku menjadi sangat kasihan dengan Asdos sinting itu. Dengan berlagak sok kenal aku mendekainya seraya berkata singkat,"Ada yang salah kak?" Tapi dia tetap tak bergeming, saat akan kutinggalkan dia bersama tangisannya tiba-tiba saja ia bediri dan mengucapkan sebuah kalimat aneh. "Apa saya begitu tak menyenangkan? Apa kamu malu kalo punya kakak seperti saya??". Apa yang harus aku lakukan saat itu? lantas saja kujawab dengan ringan,"Kak Naren tanya saya?" Dia diam. Mulutku tiba-tiba saja berbicara yang menurutku agak ngelantur, "Kak, kalo menurutku gak ada orang yang terlalu memalukan. Hanya saja, tergantung lingkungan ia tinggal." Ops.... ngomong apaan sih aku!! Tiba-tiba aja Kak Naren pergi. Dasar aneh.
Keesokan harinya aku tak pernah lagi bertemu dengan Kak Naren. Tetapi, baru saja aku menggaruk janggut karena berpikir, seseorang berbisik ke telinga kananku, "Saya tunggu di selasar plano setelah kuliah saya."
satu kata : Shit!!!
Stetlah sampai di selasar plano dengan terengah-engah, orang itu ternyata langsung to the point dan membicarakan maksudnya menyeretku ke selasar ini.
"Kamu alumni pondok pesantren kan?" tanya Kak Naren
"Iya kak, emang kenapa?" tanyaku heran. Firasat buruk.
"Saya udah tau tempat kos kamu, besok minggu jam sembilan pagi saya jemput.
"Jemput kemana kak?"
"Kerumah saya. Kamu punya tugas penting banget yang harus dilaksanain!!! Gak pake nolak, atau nilai F yg bakal keluar di Kalkulus."
Aku hanya diam sambil membatin,"Dasar, Asdos sinting!!"

Keesokan harinya Kak Naren benar menjemputku dengan menggunakan Kia Picantonya yang berwarna hijau mengkilap itu. Setelah tiba di rumahnya aku masih belum ada gambaran tugas apa yang harus aku lakukan di rumah Asdos? apa aku bakalan dijadikan pembantu rumah tangga? Tidak mungkin. Setelah masuk ke rumahnya barulah aku sadar aku benar-benar sudah dijadikan tumbal oleh Asdos sinting itu. Di dalam rumah itu, sudah berkumpul semua keluarganya tanpa terkecuali termasuk kakek dan neneknya. Dengan lantangnya ia tiba-tiba memecah keramaian di rumah itu dengan kalimat yang benar-benar sangat tidak aku harapkan.
"Pah, Mah, saya mau perkenalkan kalian sama Diar. Dia,,,,, ya gitu lah..."
Hatiku dengan reflek segera mencaci,"Mampus!! Apa-apaan sih Asdos ni!!Sintingnya nambah merembet kemana-mana." Aku yang sudah mati kutu ini, terus saja dilihat oleh mereka-mereka.

“Mah, pah, nek, tir, ini Kelsi. Nama panjangnya Maulidiar Rahma Kelsi Fachriza. Tapi panggil aja Kelsi.”
Lantas apa yang akan kulakukan? Aku hanya tersenyum kaku saat mereka melihatku dengan tajam. “Tuhan…. Cobaan apa lagi yang engakau berikan kepadaku?” Tapi beberapa saat kemudian tiba-tiba tatapan mereka menjadi berubah. Menjadi ramah.
“Alhamdulillah… akhirnya Naren punya pacar juga. Benar kan jang?? Ini pacar ujang kan? Tanya seorang wanita lansia-sepertinya nenek-kepada kak Naren.
Tebak apa yang dilakukan oleh Kak Naren? Dia hanya tersenyum. “What??? Sikap apa-apaan itu!! Apa asdos itu udah gila? Ya ampuuunnn, kalau bisa kucekik dia, bakalan kucekik sekarang juga. Bila perlu, kutelan dia tanpa pisang.
Acara “arisan keluarga itu tak terasa juga sudah berakhir dan Kak Naren meminta izin pada keluarganya untuk mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku? Apalagi! Saat sudah terlihat gerbang kosanku, mobil hijau itu berhenti perlahan-lahan. Saat akan kuraih pintu mobil, tiba-tiba Kak Naren seperti menahan tanganku.
“Maaf, maaf saya gak bilang sama kamu tentang hal ini sebelumnya, karena kamu memang gak akan mau kan?” belanya
“Kalo tau aku nggak mau kenapa masih dilakuin sih?” jawabku agak sengit
“Cuma kamu satu-satunya teman yang bisa nolong aku dalam keadaan ini. Kamu alumni pesantren di Jombang kan? Itu cocok banget sama kriteria keluarga saya. Pliss, jangan menyerah dulu ya? Mereka nggak mungkin menyulitkan kamu kok.”
Aku hanya dian memikirkan salah satu kata yang diucapkannya tadi “teman”?? apa mergokin oang nangis di perpus prodi aja udah bisa dibilang teman. Lalu aku memberi respon,”OK Kak, aku lanjutin permainan satu ini, asalkan kalkulusku mulus semester ini, gimana?”
“Itu masalah gampang Kel….” Jawab Kak Naren sambil tersenyum.
Dalam hatiku berkata, “Manis juga kak Naren kalo senyum….… hihihi”
Hari demi hari berlangsung lumayan cepat, Kak Naren sering mengajakku pergi ke rumahnya. Orang tuanya sering sekali menanyaiku mengenai pondok psantren almamaterku dulu. Ya….. Tebuireng, siapa yang tak kenal dengan salah satu pesantren kesohor itu. Adiknya juga lumaya ramah, hihihi sebagai adik perempuan yang memiliki kakak seperti Kak Naren, dia lumayan tabah menghadapi nasib memiliki kakak yang sangat kaku dan kolot itu. Tapi yang membuatku aneh adalah sekarang-sekarang ini, Kak Neren sering mengajakku bahkan ke tempat-tempat lain seperti Sushibun, Hanamasha, Gramedia (Dasar kutu buku!), bahkan dua menit lalu Kak Naren mengirimkan pesan dibawah email tugasku. “Ke BSM nanti siang”. Apa rencana yang sedang ia buat sekarang??
Acara jalan-jalan ke BSM tadi lumayan sukses. Kak Naren nggak pernah tertawa selepas tadi. Kasian banget hidupnya. Kalo liat matanya yang sendu itu, aku selalu ingin mengusapnya agar bisa bercahaya lagi, ingin kuhibur seperti dia yang biasanya selalu melakukan hal-hal aneh jika kehidupan kampus tidak berjalan indah. Sebagai salah satu mahasiswa STEI di ITB, aku yang latar belakangnya seperti mendapat dewi fortuna ini memang sering terseok-seok menghadapi cobaan persingan di kampus. Belum lagi jumlah siswa laki-laki yang terlampau banyak melebihi wanita. Sering sekali Kak Naren mengajakku untuk belajar bersama, ia menganggapnya belajar bersama. Tapi aku menganggap bahwa ia memang sedang membantuku. Mengajari matri-materi yang mungkin menurutnya hanyalah seperti cemilan itu. Miris. Entah sejak kapan aku  terus memikirkan laki-laki berkulit putih dan berdagu topas itu. Apa yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah berdo’a agar semua ini cepat berakhir, permainan ini cepatlah berakhir. Karena hanya akan luka yang akan timbul jika aku tak bisa menahan perasaan ini lebih lama.
Renunganku kemarin memang telah membuatku sadar, perlahan aku mulai menjauhi Kak Naren. Tidak membalas emailnya, sering merijek teleponnya, bahkan sempat menolak makan di Hanamasha (Sayang….. shabu-shabbunya enak banget). Kak Naren mungkin juga sudah menyadari hal itu. Lebih sering ia mengirim email. Tetapi ada yang aneh dengan email terakhir yang dia kirim.

Everyday ‘d been just a suck before you came
Facing the truth that never gonna be better for my life
Avoid the glory, that you came after it
I’ve just feel another taste, a good taste
The best
Because of you
Just after you came, no other

Apapun artinya email itu, tekadku sudah bulat untuk mula perlahan meninggalkan fatamorgana ini. Semua takkan bertahan lama.
Terakhir juga ujian semester ini, akhirnya aku bisa melewati saat-saat enam bulan pertamaku yang sulit di Kampus Teknologi ini. Baru saja aku keluar dari kamar mandi CC Barat, aku melihat pemandangan yang sangat indah. Seseorang yang tak pernah kulihat setidaknya dalam 1 bulan ini. Yup, usahaku untuk menjauh dari kak Naren membuahkan hasil. Setelah beberapa minggu aku mencoba menjauh akhirnya ia juga menjauh. Tepat seperti dugaanku. Tak akan mungkin jadi kenyataan. Bagaikan punguk yang merindukan rembulan. Jika melihat dari luar memang hanya bisa terlihat sebagai seorang pria kutu buku  yang membosankan. Tapi yang sesungguhnya, hatinya begitu lembut hingga tak bisa dimengerti oleh orang lain. Kak Naren sedang duduk santai di depan mushola CC barat. Aku masih diam. Tersenyum sendirian melihat Kak Naren, tak terasa air mata menetes membasahi pipi yang sudah lelah ini. Ingiiin sekali mendekat, dan menghambur ke arahnya. Tapi, apalah daya, aku yang akan terluka nantinya. Sesaat kemudian, tiba-tiba Kak Naren melihat ke arahku. Aku tetap diam dengan air mata membanjir.
Bodoh!! Cepat pergi dari sini… umpat diriku sendiri. Kak Naren sudah setengah berlari menuju ke arahku. Aku kemudian baru merespon dan mulai melarikan diri. Segera kutambah kecepatan lariku. Selama lari itu, aku tak tahu apakah dia masih mengikutiku atau tidak. Kekuatanku sudah habis saat kusadari sudah berada di Aula Barat. Aku berhenti terengah-engah dan ternyata memang kak Naren masih mengikutiku. Dia mendekat hingga berada tepat di depanku.
“Kenapa kamu ngilang Kel? Selalu lari dan menjauh begitu dari saya?” tanyanya singkat.
“Nggak, aku Cuma sibuk. Aku nggak ngilang kok.” Elakku
“Terus kenapa tadi kamu lari?” tanyanya lagi
“Udahlah Kak” elakku sambil berusaha untuk kabur
Saat aku sudah berbalik membelakanginya, tba-tiba ia membisikkan hal yang benar-benar membuatku membeku
“Nggak kangen sama saya Kel? Setelah semua ini, satu bulan kita nggak ketemu. Nggak adakah rasa kangen sedikit?”
Aku diam. Aku tak pernah tahu apa kalimat yang tepat untuk membalas pertanyaan itu. Hanya hati keciku yang berteria, “Iya kak….Iya…. Aku kangeeen banget ama Kak Naren.” Tapi aku terlalu takut mengatakannya. Lagi-lagi hanya air mata yang bereaksi. Sesaat itu kita hanya diam, tapi segera Kak Naren mendekat dan kemudian mendekap. Taka da yang dikatakan olehnya. Begitu juga denganku. Hati kecilku lalu membentak, “Kels, back down to earth!!” Segera kulepas pelukannya dan pergi menjauh. Lagi. 


Seminggu setelah kejadian naas itu, aku masih belum bisa melupakannya. Selalu terbayang saat aku melewati Aula Barat yang selalu menjadi jalur masukku ke kampus. Khusunya di depan toilet tak terpakai yang mennjorok ke bawah itu. Kembali aku melewati Aula Barat. Hanya berhenti sejenak untuk mengenang. Setelah itu, langkahku kembali bergulir dan menuntunku ke arah gedung labtek VI. Entah mengapa ingin sekali membaca buku fisika. Tapi, hari ini diktat fisika tak kubawa dan kuliah masuk 3 jam lagi. Entah mengapa aku ingin sekali ke kampus. Kakiku terus melangkah hingga ia mengantarku ke depan pintu perpustakaan prodi. Perlahan kubuka pintunya dan kutemukan bahwa hari itu sama sepinya dengan beberapa bulan lalu saat aku bertemu dengan Kak Naren. Reflek aku memilih meja yang berada di paling pojok, sebenarnya model bangku perpustakaan prodi itu seperti membelakangi. Aku merasa ada orang di belakangku, tapi ia mungkin tak bisa mengetahui keberadaanku karena memang tak terlihat. Saat aku duduk terpaku di sana, terdengar suara seorang lelaki yang sedang bergumam. Aku bisa dengan jelas mendengar semua ucapannya

"Ada apa dengan kelsi? kenapa dia terus saja menjauh. Aku memang gak pernah bisa ngungkapin hal yang sedang terjadi diantara kita tapi apa dia gak bisa merasakannya? Apa kelsi benar tidak pernah merindukanku?? Dia tahu aku sangat rindu......"

Kata-kata itu begitu membingungkanku. Tak tahan lagi segera aku berlari ke hadapan orang yang berbicara tadi. Dugaanku benar, orang itu adalah Kak Naren. Aku hanya bisa menangis lagi di hadapannya, tak berani melakukan apa-apa. Perlahan ia berdiri dan menarikku ke dalam pelukannya. Dengan suara yang terseok-seok aku masih berusaha untuk mengatakan sesuatu, "Aku kangen sama kakak..... kangen... banget..."
ia membalas, "Apa kamu gak bisa ngerasain perasaan saya?"
"Aku takut kalo itu bukan perasaan yang benar-benar buat aku..."
Kak Naren membalas agak lama, "Perasaan saya selalu benar buat kamu dan akan selalu benar begitu selamanya. I love you Kelsi..... Sayang banget sama kamu....... forever selamanya akan selalu begitu. Hanya dengan kamu......"

Semua cerita kocak dan menyedihkan ini akhirnya berakhir dengan bahagia juga. Kak Naren tetap menjadi asdosku yang paliiing baik, paling tampan, pokoknya paliing segalanya deh.... Selain dapat pacar ternyata aku juga dapet guru les gratis dan makan malam gratis 3 kali seminggu. Kadang, kalo ketemu di kantin suka dijajanin. Enak juga punya pacar Asdos.....
Masa-masa kuliah memang sangat berat untukku, tapi selama masih ada Kak Naren, all is well. Kak Naren memang agak sinting.... tapi, gimanapun juga dia kan pacarku. hehehe.
HAPPY ENDING