Kampus Tercinta

Kampus Tercinta
Golden Gate

Rabu, Oktober 12, 2011

If This Is a Dream, just Don't Let Me Awake



Saat kamu bangun dan hidupmu bukanlah hidupmu, apa yang akan kau lakukan? Bagaimana pula jika hidup yang menurutmu palsu itu terlalu indah seperti mimpi hingga kau tak ingin terjaga olehnya?

Aku berusaha untuk menyadaran diriku. Entah mengapa, kepala ini terasa seakan ter lalu berat. Bahkan mata pun sukar untuk terbuka. Ada apa sebenarnya? Perlahan mulai kucoba lagi hingga rintihan suara terdengar dari mulutku. “Arrhhh…..arrh….”. Oh tidak, mengapa suaraku sepertinya berubah? Apa yang terjadi semalam? Mengapa dalam sehari saja aku bisa menderita sakit kepala akut hingga suara yang berubah. Sepertinya berubah lebih dewasa, hanya pikiranku. Tiba-tiba aku mendengar suara sesosok laki-laki yang sepertinya sedang berada di dekatku dan memegang tanganku. Siapa dia? Sepertinya tak pernah kubiarkan seorang lelaki memasuki kamar kosku. Dimana Ulan? Mbak Mae? Mbak Sulis? Ami? Dimana semua anak kos? Kenapa aku tak mendengar suara mereka satupun? Oh Tuhan….. sakit kepala ini terlalu untukku. Sejenak kuusahakan lagi agar mata ini terbuka. Dan benar terbuka. Apa yang kulihat saat ini memang persis sama dengan apa yang kubayangkan tadi. Wanginya, udaranya, dan suasananya. Tepat sekali, aku memang sedang berada di Rumah Sakit. Tapi siapa yang sedari tadi memegangi tanganku sembari membaca sholawat berulang kali itu? Aku tak bisa menemukan bayangannya karena sakit kepala yang menyiksa ini. Sampai saat beberapa dokter dan perawat datang, aku melihat sesosok pria berkemeja biru muda yang sedang cemas menunggu di belakang kerumunan orang-orang berbaju putih. Mungkinkah ia orang itu? Tapi tunggu dulu, bukankah lelaki itu orang yang aku kenal? Tidak mungkin, lelaki itu, mungkinkah Kak Mukti? Benarkah? Tak mungkin, lalu mengapa ia terlihat berbeda dan sepertinya sangat mengkhawatirkan aku? Menganggapku teman saja tidak.  Semua ini sangat tidak masuk akal, tapi semakin aku berpikir semakin parah pula sakit kepala yang aku derita. Akhirnya aku hanya bisa diam hingga dokter dan para perawat hilang. Sakitnya lumayan hilang, tapi keadaan ini sungguh sangat aneh. Apa aku sedang bermimpi? Tapi saat mereka menyuntikkan obat ke tanganku, apa orang yang tidur pun bisa tak terbangun? Otakku sangat penuh dengan pertanyaan hingga lelaki yang kucurigai sebagai Kak Mukti itu datang lagi menghampiriku.

Lelaki itu duduk di sebelahku dengan tenang kembali. Kembali pula menggenggam tanganku dan mengusap keningku. Ingin sekali kutanyakan eribu hal kepadanya, saat akan mengatakannya, seperti ada yang menekan tenggorokanku. Aku hanya bisa mengerang tanpa mengeluarkan kata yang lengkap.
“Sayang…. Gak usah ngomong dulu ya? Kata dokter saraf pembicara kamu sedikit bermasalah, untuk sementara susah bicara. Tapi nanti bisa pulih kok.
Apaa????? Sayaang?? Dahiku menyerinyit hingga menyatu. Kenapa dialognya semakin aneh. Sayang siapa? Aku ini Aliana Nurul Bidayah, Mahasiswa ITB 2011. Apa dia tak salah kamar. Teka-teki tentang siapa pria itu terjawab saat salah seorang perawat datang dan memanggil namanya.
“Pak Mukti, tolong menemui dokter nanti jam 4”
Namanya bisa kudengar dengan sangat jelas. Mukti. Orang itu benar Kak Mukti. Aku benar-benar sedang bermimpi. Tapi tetap saja aku tak bisa mengatakan sesuatu hanya sekedar untuk ‘bertanya’ ada apa dengan hidupku ini?
Keesokan harinya aku pulang dari Rumah Sakit. Sepertinya aku memang tak menderita sakit apapun kecuali sakit kepala. Yang menjemput, lagi-lagi Kak Mukti yang setap waktu disisiku. Tapi sekarang ada mama. Ma, aku ingin sekali bertanya ‘ada apa ini’? Tapi mama hanya menuntunku hingga memasuki Jaguar hitam. Hidupku semakin aneh. Saat mobil berhenti, mama menuntunku masuk ke sebuah rumah tingkat dua bergaya minimalis dan luxury. Ma, ini bukan rumah kita. Ini bukan di Karawang. Tapi mama tetap menuntunku hingga memasuki sebuah kamar. Aku tak terlalu memperhatikan rumah itu hingga mama keluar dari kamar. Meninggalkanku sendiri dengan semua ini, aku ingin menahannya tapi mulut dan tubuh ini terlalu lemas. Tak begitu lama aku akhirnya tertidur.
Setelah terbangun aku berharap segera kembali pada kehidupanku dulu yang tenang sebagai mahasiswa. Tapi tidak, aku masih terjebak dalam rumah bagus ini. Ya Allah, jam berapa ini? Aku belum sholat dari sebelum aku tidur. Perlahan, kuambil air wudhlu dan mengkodlo sholat yang terlewat. Mungkin pengaruh obat yang kuminum saat masih di Rumah Sakit sesaat sebelum keluar.  Aku mulai memperhatikan sekelilingku, dan suatu hal seakan menamparku. Fakta bahwa Aku Sudah Menikah.

Ada apa dengan semua tempelan di dindng. Foto-foto di figura itu siapa? Dan sesaat aku mulai berpikir untuk berkaca. Akhirnya bergerak juga kakiku mendekati kaca di meja rias kamar. Astaga!! Mukaku berubah, tubuhku berubah, tak mungkin . It must be just a dream. DI kaca itu aku hanya melihat wanita berumur sekitar 28-an tahun yang cantik dan bertubuh langsing. Oh tidak, tapi aku masih mengenali wajahnya. Wajah ini memang wajahku, tapi ada apa dengan tubuh dan umurku. Apa aku tidur selama 10 tahun? Ada apa dengan semua keanehan ini. Fakta lagi yang membuatku semakin sesak adalah bahwa aku sudah menikah. Semua foto pra wedding dan wedding yang terpajang di dinding adalah foto wanta yang sama dengan yang kulihat di kaca. Semua fotoku. Masalahnya disini foto-foto itu adalah foto pernikahan yang sangat bahagia  Bagusnya adalah sang suami dalam fotoku itu adalah Kak Mukti, seniorku di Radio Kampus ITB. Emang itu kakak yang paling aku fans sih, tapi untuk menikah?? Apa mungkin? Dan apa ini benar bukan mimpi kah? Aku tetap masih belum pecaya. Sesaat aku melamun, seorang laki-laki masuk dan membuyarkannya. Dia adalah lelaki yang dulu menyebutku ‘sayang’. Tepat sekali, itu Kak Mukti. Apa yang harus aku katakan? Ups, aku memang tak bisa bicara. Tak ada yang bisa aku tanyakan kemudian. Untuk beberapa hari aku hanya bisa diam sambil memahami keadaan aneh ini. Aku masih tak bisa mengerti dan percaya dengan semua ini walau sudah benar-benar kucoba. Aku benarbenar sangat ingat bahwa beberapa hari lalu, aku masih tidur di kasur terbaikku di kamar kos, bersama dengan bantal beludru biru dan selimutku yang hangat. Tapi hari ini, aku tidur di kamar yang sangat besar dan mewah lengkap denga n permadani di bawah tempat tidur, dan satu lagi hal yang sangat-sangat tak lazim. Saat ini aku malah tidur dengan seseorang yang mengaku sebagai suamiku. Aku melihat dengan mata kepalalaku sendiri buku nikah kami. Hal itu membuktikan bahwa kata-katanya memang bukan sekedar kebohongan. Entahlah, aku lagi-lagi masih tak bisa mengerti keadaan ini.

Tubuh dan kepalaku sudah tak merasakan sakit. Kurasakan keadaanku yang mulai membaik. Baru saja perasaanku membaik, tiba-tiba saja datang e-mail di layar laptop yang katanya adalah laptopku (aku tak percaya karena laptop itu adalah mac book terbaru). Kak Mukti dengan lembut menyuruhku untuk membuka e-mail tersebut. “Buka ajja e-mailnya yang…. Kamu udah hamper seminggu kan nggak buka e-mail, siapa tau dari kantor”. What?? Kantor? Maksudnya itu kantor siapa? Kantor Kak Muktinya atau? Jangan bilang kalo aku juga sudah bekerja. Tidak…. Kejutan apa lagi ini?
Saat kubuka e-mail itu, tertera kop surat yang bertuliskan nama “CHEVRON” wah… perusahaan asing itu sangat terkenal. Siapa yang bekerja disana? Kak Mukti? Tapi kenapa ngirim e-mailnya ke alamatku? Begitu kagetnya aku saat kubaca kalimat di awal surat
“Kepada yth. GM Produksi Ibu Dr. Eng. Aliana Nurul Bidayah, Ph.D.”
Tidak mungkin. Aku Cuma mahasiswa D3 Metrologi Instrumentasi ITB, tak mungkin bila punya gelar segitu banyak. Dan aku bukan Eng. E-mail mengatakan bahwa aku harus segera masuk kantor lagi sebagai General Manager maksmal aku membolos dua minggu lagi karena memang selama ini mereka menganggap bahwa aku telah mengalami kecelakaan. Mereka bukan salah anggapan, tapi salah kirim e-mail. Aku bukanah orang ini, aku cuma mahasiswa. Aku mahasiswa. Aku seorang doctor. Sangat sulit dipercaya.
Hari ini memang hari sabtu. Saat semua karyawan perusahaan biasanya libur. Begitu juga dengan Kak Mukti. Hari ini ia berencana untuk menemaniku saja di rumah seharan. Waduh, merepotkan dan canggung juga. Mulai dari tadi pagi, bukan aku yang memasak tapi Kak Mukti.  Kak Mukti benar-benar memperlakukanku sebagai seorang wanita yang paling beruntung di dunia. Bosan dengan keadaan yang membuatku melayang-layang kulangkahkan kakiku ke lemari buku dan album foto yang ada di sudut ruang keluarga. Mulai kubuka dan aku menemukan banyak album photo di lemari itu selain buku-buku tentang elektronika. Pasti semua itu buku Kak Mukti, tebakku. Tetapi di bawah tumpukkan album foto, terselip sebuah flashdisk yang sudah sedikit using. Aku ragu apakah flashdisk itu masih bisa digunakan ataukah tidak. Segera kubawa tumpukan abun foto itu dan kubawa pula flashdisk using iu ke dalam kamar. Saat akan kunyalakan mac book di atas meja, Kak Mukti masuk dengan baju yang basah. Sepertinya ia menyiram dan membenarkan taman samping bersama bi Inah. Kak Mukti dengan tidak canggungnya berganti pakaian di dalam kamar. Oops, aku masih belum terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Yang kulakukan adalah terus menunduk. Sampai Kak Mukti tertawa kegirangan melihat tindakanku. Aku masih tetap menunduk sampai ia menghampiriku. Kutancapkan flashdisk itu dan mulai kulihat apa isinya. Tiba-tiba Kak Mukti tertawa sambil berkata, “Wah…. Kamu lagi mengenang masa kuliah? Dulu kamu gak pernah ngebolehin aku buka flashdisk itu loo… sampe aku lupa kalo masih ada sekarang. Trus foto-foto dari kamera slr ini juga gak boleh aku buka. Sekarang mau kamu buka-buka lagi? Aku boleh liat kan yang?”
Jawabanku, “ooo yya, aku lagi mau lihat-lihat lagi. Boleh kok, Kak Mukti boleh liat.” Sedangkan dalam hatiku berkata, “hihi aku punya kamera slr?? Keren donk…”
Ternyata flashdisknya masih bisa dibuka. Saat kubuka, isinya hanyalah sebuah folder yang bernama DIARI 2011-2020. Ya ampun aku telat menyadari bahwa hari ini bukanlah tahun 2011 lagi. Tapi 2022. Umurku berarti sudah 28 tahun. Tua banget. Mulai kubuka folder  itu dan kutemui banyak file pengolah kata. Kubuka halaman pertama
“19/11/2011
Hari ini aku menjadi Kru Radio Kampus. Asyikkk, semakin dekat ama Kak Mukti….”

Lantas saja tawa Kak Mukti meledak melihat tulisanku.